Selamat, Anda Tersesat!
Selamat, Anda Tersesat!
* * *
Di usia 21 tahun, di negara asing, saya pernah mencari kediaman
seseorang selama empat jam. Waktu itu musim dingin dan angin beku
berembus kencang di atas jam enam sore. Matahari juga sudah lama
terbenam, hingga saya harus bersandar pada lampu-lampu jalan saat
membaca alamat yang saya tuju di atas kertas lipat. Setiap kompleks
perumahan di kota asing itu tampak senada. Pekatnya langit malam di
musim dingin sungguh membuat saya ragu akan keberadaan saya. Sepinya
jalan-jalan kompleks perumahan juga membuat nyali semakin ciut. Akankah
saya temukan rumah yang dituju? Setiap orang yang saya temui di jalan
memberi petunjuk ke arah berbeda hingga akhirnya saya semakin jauh dari
tempat tujuan. Di jam ke empat, saya menyerah. Waktu sudah menunjukkan
pukul setengah sebelas malam. Ponsel saya tidak dapat sinyal. Saya tidak
tahu bagaimana caranya kembali ke jalan besar. Bus dalam kota juga
sudah berhenti melayani penumpang. Saya harus jalan kaki ke stasiun
kereta. Seolah hendak mendramatisir suasana, malam itu salju turun
lebat. Sekarang nyaris tak ada manusia yang berada di luar rumah.
Kecuali saya. Saya ingat benar ketakutan yang menggerayangi pikiran
saya. Saya mendadak kangen keluarga yang jaraknya ribuan kilometer di
ujung dunia. Saya duduk lemas di tepi jalan, berusaha menghangatkan
tubuh, memikirkan cara pulang. Haruskah saya mengetuk pintu rumah
penduduk setempat? Apa tidak malu? Tapi apa gunanya malu dalam kondisi
semacam itu? Untungnya, tiba-tiba seorang pemuda keluar dari salah satu
rumah di kompleks tersebut. Saya segera menghampiri, bertanya arah
terdekat menuju stasiun kereta dalam kota. Pemuda itu menawarkan
tumpangan karena salju yang kian lebat menghujan. Saya beruntung tidak
berakhir di atas meja bedah seorang pembunuh serial. Pemuda itu bernama
Benjamin. Dia baru saja mengunjungi rumah orangtuanya dan hendak
berkendara kembali ke asrama. Kami berbincang selama dua puluh menit
dalam perjalanan. Ternyata stasiun kereta itu letaknya sangat jauh dari
tempat saya berada. Ternyata sejak lima menit pertama menjajaki kompleks
perumahan yang luas itu saya sudah salah arah. Empat jam saya habiskan
mengelilingi tempat asing yang sampai saat ini tetap terasa asing.
“Jangan tersesat lagi,” pesan Benjamin. Saya melambai. Kami tak pernah
bertemu lagi.
* * *
Sembilan tahun lalu saya bertemu dengan jodoh saya. Dua hari kemudian, dia bertemu dengan jodohnya. Mungkin kami tersesat.
* * *
Komentar
Posting Komentar