PULANG

Rinrin Indrianie
Setelah jeda yang begitu lama, lelaki itu menghabiskan isi gelasnya dengan sekali tegukan.
“Apa gunanya?”
Maksudmu?
“Datang ke rumah Ibu tidak akan merubah apapun.”
Tapi beliau memintamu datang.
“Dan aku menolak untuk pergi.”
Kenapa?
“Di mana salahnya?”
Karena kau sudah mengecewakannya.
“Aku tidak ingin membuatnya khawatir.”
Ibumu peduli padamu, tidakkah itu penting?
“Ya, dan karena ibuku begitu penting buatku, aku tidak ingin menemuinya. Tidak saat aku dalam keadaan begini.”
Maksudmu kau tidak ingin dikasihani, begitu?
“Rasanya aku tidak perlu dihakimi seperti itu.”
Jadi benar?
“Apanya?”
Kau tidak ingin menerima simpati.
Lelaki itu terdiam.
Kau tidak ingin terlihat lemah.
“Seharusnya aku tidak menceritakannya padamu.”
Kau manusiakan? Dan setiap manusia memiliki masalah, tidak terkecuali kau.
“Aku tidak memintamu mengajariku.”
Aku juga tidak sedang mengajarimu.
Sekarang lelaki itu menghela nafas, lelah.
“Sebetulnya apa maumu?”
Aku hanya ingin kau berhenti sok kuat seperti itu.
“Tapi aku memang kuat.”
Tidak perlu berbohong dan memaksakan diri. Bukan sebuah dosa menerima bantuan, simpati atau empati dari sekitarmu.
“Kau sangat cerewet. Seperti ibuku saja !”
Hey, itu karena aku peduli. Aku sayang padamu.
Gelas kosong itu kini hancur berkeping. Lelaki itu menghempaskannya sekuat tenaga ke tembok tepat di sebelahku. Pecahannya menggema hingga beberapa saat di kamar yang sunyi ini.
“Aku harus kuat. Titik !”
Tapi, mengakui kalau kau punya masalah tidak akan membuatmu terlihat lemah!
“Aku seharusnya bisa menyelesaikan masalahku sendiri.”
Mungkin memang seharusnya begitu.
“Memang seharusnya begitu.”
Walaupun sama sekali tidak salah jika kau meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikannya.
“Aku tidak ingin membebani orang lain.”
Apakah kau merasa terbebani saat kau menolong orang lain ?
“Konteksnya berbeda. Tidak bisa disamakan.”
Apa yang menjadikannya berbeda ? Hanya bertukar posisi, kali ini kau yang memerlukan bantuan, dan akan ada banyak orang di sekelilingmu yang bersedia menolongmu.
“Aku tidak yakin.”
Bagaimana kau bisa yakin jika  sekedar untuk mencobanya saja kau tidak mau?
“Entahlah…”
Berhentilah bersikap ‘sombong’.
Lelaki itu terdiam lagi. Menatap kosong pecahan gelas yang berserak di lantai.
Mulailah dengan menemui ibumu.
“Kau pikir itu perlu?”
Tentu saja, apalagi hari ini adalah ulang tahunnya.
“Aku sudah mengiriminya hadiah.”
Kehadiranmu pasti lebih membahagiakannya dari hadiah apapun.
“Ah, aku tidak yakin.”
Kenapa?
“Karena aku anak yang gagal.”
Gagal?
“Iya gagal. Ibuku pasti malu memiliki anak sepertiku.”
Ah…omong kosong.
“Aku sudah membuatnya kecewa.”
Siapa yang bilang begitu?
“Perusahaanku gulung tikar, istriku selingkuh, anakku dipenjara. Kau pikir ibuku akan merasa bangga padaku dengan semua itu? Pasti itu sangat mengecewakannya.”
Tapi kau pernah berada di puncak kejayaan. Jika sekarang kau berada di titik terendah hidupmu, kenapa kau berpikir roda itu tidak akan pernah berputar mengantarmu kembali ke atas?
“Kau terlalu banyak bicara !”
Dan kau terlalu banyak tingkah !
“Dengar, semua yang terjadi padaku adalah salahku sendiri. Dan sudah sewajarnya jika aku menghukum diriku sendiri karena itu !”
Kenapa?
“Apanya yang kenapa ?’’
Kenapa semuanya menjadi salahmu?
“Memang begitu faktanya.”
Sahabatmu itu yang keterlaluan, menipumu mentah-mentah hingga perusahaanmu bangkrut.
“Dia memang brengsek. Tapi salahku sendiri sudah terlalu mempercayainya.”
Istrimu yang kurang ajar, berkhianat lantas meninggalkanmu demi lelaki lain.
Lelaki itu terdiam, memandang sebingkai foto yang terpasang di dinding. Foto dirinya dan seorang wanita cantik, tersenyum bahagia pada kamera dengan kostum pengantin.
“Itu karena aku kurang menyayanginya, mungkin dia bosan, lantas mencari perhatian selain dariku.”
Tetap saja dia kurang ajarkan ?
“Aku mencintainya. Titik.’’
Aneh !
“Terserah kau. Aku tidak akan menyalahkannya. Biarkan saja dia dengan lelaki itu, jika bisa membuatnya lebih bahagia’’
Kau gila rupanya.
“Apa pedulimu ?’’
Anakmu itu yang tidak tahu berterima kasih, siapa yang mengajarinya sebejat itu ? Keterlaluan sekali berbuat kriminal dan dipenjara, mencoreng nama baikmu.
“Mungkin karena aku juga bejat. Mungkin aku memang bukan ayah baik. Mungkin aku memang tidak bisa mendidiknya.”
Ya Tuhan. Kenapa kau selalu menjadikan dirimu sebagai penyebab segalanya?
“Tidak perlu bawa-bawa Tuhan, Beliau tidak punya kepentingan apapun dalam urusanku.”
Hahh?
“Sudahlah, aku tahu apa yang harus aku lakukan.”
Apa? Apa yang harus kau lakukan?
“Menyesali kesalahanku mempercayai sahabat yang salah.”
Tidakkah lebih baik kau memulai bisnismu yang baru dengan semua yang tertinggal padamu?
“Lalu merutuki kebodohanku membiarkan wanita yang kucintai pergi.”
Jika istrimu penting bagimu, kenapa kau tidak menyusulnya, dan meminta dia kembali padamu?
“Dan menghukum diriku karena telah menelantarkan anakku.”
Bukankah hukuman itu tidak akan bisa mengubah apapun yang telah terjadi? Anakmu membutuhkan pertolonganmu saat ini, bukan hukuman yang kau ingin jatuhkan pada dirimu sendiri seperti itu.
Kembali, jeda yang sunyi. Lelaki itu memandang sekeliling kamar dengan takzim, seolah mengingat yang pernah terjadi di sana. Kehangatan cinta istrinya, kedamaian keluarganya. Dulu.
“Mungkin aku memang harus pulang.’’
Ya, aku setuju. Pulang ke rumah ibumukan ?
“Kau tidak akan mengerti.”
Apa yang tidak aku mengerti ?
“Bahwa pulang tak selalu harus ke rumah.’’
Maksudmu?
“Sudah kubilangkan ? Kau pasti tidak mengerti.’’
Lelaki itu tersenyum pada dirinya sendiri, memandang kamar luas itu sekali lagi.
“Baiklah… Aku pergi.”
Kemana? Pulang ke rumah ibumu ?
“Sudah kubilang aku tidak akan kesana !’’
Lalu?
“Aku akan mengakhiri semuanya. Semua masalah dan penderitaanku ini.”
Dengan cara apa? Bagaimana?
“Kau tak perlu tahu. Aku tidak ingin kau tahu. Selamat tinggal.”
Tapi…
Lelaki itu pergi begitu saja, entah kemana, entah melakukan apa, entah kapan dia akan menemuiku lagi. Lagipula, apa yang bisa aku lakukan? Jika aku hanyalah sebuah cermin.
2011 © Fiksi Lotus dan Rinrin Indrianie. Tidak untuk dijual, digandakan ataupun ditukar.
_____________________
#CATATAN:
> Cerita pendek ini belum pernah diterbitkan sebelumnya, karya Rinrin Indrianie.
>> RINRIN INDRIANIE adalah seorang penulis dan pegawai korporat muda yang berbasis di Jakarta. Lulusan Sastra Jepang, ia bercita-cita untuk melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek dalam waktu dekat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mengenal dekat teman saya

ZAMAN ROMAWI KUNO

mengenal dekat teman saya capter 3